Minggu, 07 Februari 2010

pernikahan,puasa,penyembelihan

Arti Definisi Pengertian Perkawinan/Pernikahan Dan Dasar Tujuan Nikah/Kawin Manusia
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :
A. Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 24-An Nuur : 32)
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
B. Tujuan Pernikahan / Perkawinan (Q.S. 30-An Ruum : 21)
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."
Pengertian Pernikahan Dalam ISLAM

Buat kakaQu tersayang juga yang lainnya, semoga bermanfaat, AMIN.

Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan, baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental), pendidikan dan lain hal.

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui agama, kerabat, dan masyarakat.

Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat “ijab dan qabul”. Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh.

Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, “Yadullahi fawqa aydihim”.

Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah menyebutnya “Mitsaqon gholizho” atau perjanjian Allah yang berat. Juga seperti perjanjian Allah dengan Bani Israil dan juga Perjanjian Allah dengan para Nabi adalah perjanjian yang berat (Q.S Al-Ahzab : 7), Allah juga menyebutkan aqad nikah antara dua orang anak manusia sebagai “Mitsaqon gholizho”. Karena janganlah pasangan suami istri dengan begitu mudahnya mengucapkan kata cerai.

Allah SWT menegur suami-suami yang melanggar perjanjian, berbuat dzalim dan merampas hak istrinya dengan firmannya : “Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali padahal kalian sudah berhubungan satu sama lain sebagai suami istri. Dan para istri kalian sudah melakukan dengan kalian perjanjian yang berat “Mitsaqon gholizho”.” (Q.S An-Nisaa’ : 21).

Aqad nikah dapat menjadi sunnah, wajib, makruh ataupun haram, hal ini disebabkan karena :
I. Sunnah, untuk menikah bila yang bersangkutan :
a. Siap dan mampu menjalankan keinginan biologi,
b. Siap dan mampu melaksanakan tanggung jawab berumah tangga.
II. Wajib menikah, apabila yang bersangkutan mempunyai keinginan biologi yang kuat, untuk menghindarkan dari hal-hal yang diharamkan untuk berbuat maksiat, juga yang bersangkutan telah mampu dan siap menjalankan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Hal ini sesuai dengan firman Allah Q.S An-Nur : 33
III. Makruh, apabila yang bersangkutan tidak mempunyai kesanggupan menyalurkan biologi, walo seseorang tersebut sanggup melaksanakan tanggung jawab nafkah, dll. Atau sebaliknya dia mampu menyalurkan biologi, tetapi tidak mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban dalam berumah tangga.
IV. Haram menikah, apabila dia mempunyai penyakit kelamin yang akan menular kepada pasangannya juga keturunannya.

Sebaiknya sebelum menikah memeriksakan kesehatan untuk memastikan dengan benar, bahwa kita dalam keadaan benar-benar sehat. Apabila yang mengidap penyakit berbahaya meneruskan pernikahannya, dia akan mendapat dosa karena dengan sengaja menularkan penyakit kepada pasangannya.

Bagi mereka yang melaksanakan pernikahan dalam keadaan wajib dan sunnah, berarti dia telah melaksanakan perjanjian yang berat. Apabila perjanjian itu dilanggar, Allah akan mengutuknya.

. Apabila perjanjian itu dilaksanakan dengan tulus, kita akan dimuliakan oleh Allah SWt, dan ditempatkan dalam lingkungan kasih Allah

Lalu apa yang harus dilakukan keduanya (suami-istri) dalam mengarungi bahtera rumah tangga? Bila suatu pernikahan dilandasi mencari keridhaan Allah SWT dan menjalankan sunnah Rosul, bukan semata-mata karena kecantikan fisik atau memenuhi hasrat hawa nafsunya, maka Allah akan menjamin kehidupan rumah tangga keduanya yang harmonis, penuh cinta, dan kasih sayang, seperti firman Allah dalam Q.S Ar-Rum : 21, sebagaimana yang sering kita dengar.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Ruum : 21)
Keterangan :
- Istri-istri dari jenismu sendiri (berpasang pasangan), yaitu mempunyai ukuran yang sama, ukuran dalam bidang tujuan, ilmu, rohani, dll. Serta masing-masing dapat dengan baik memahami fungsinya, serta menjalankan kewajiban dan haknya dengan baik. Suami sebagai imam dalam rumah tangga, dan istri sebagai wakilnya.
Masa awal berumah tangga, dimana kita harus dapat menyamakan pandangan dengan cara beradaptasi dengan pasangan masing-masing, serta meningggalkan sifat individual.
- Tentram, yaitu suatu masa berumah tangga dimana kita sudah saling memahami sifat pasangan masing-masing, serta mulai timbul perasaan tentram, seiring dan sejalan dalam mewujudkan tujuan berumah tangga.
- Cinta, hal ini adalah tahap selanjutnya yang kita rasakan pada pasangan kita, dimana kita mencintai tidak hanya didasarkan atas keadaan fisik atau ekonomi semata, ataupun keadaan luar saja, tetapi telah timbul perasaan mencintai yang dalam, karena Allah SWT, yang tidak tergoyahkan oleh godaan-godaan yang ada.
- Rahmah, adalah tahap akhir yang merupakan buah final dari semua perasaan, dimana pada tahap ini, kita benar-benar menjalankan pernikahan tanpa adanya halangan yang mengganggu, dan dapat terus berpasangan menuju ridho Allah SWT.
Tapi mengapa banyak sekali rumah tangga yang hancur berantakan padahal Allah telah menjamin dalam surat diatas? Hal ini tentunya ada kesalahan pada sang istri atau suami atau keduanya melanggar ketentuan Allah SWT.

Allah menanamkan cinta dan kasih sayang apabila keduanya menjalankan hak dan tanggung jawab karena Allah dan mencari keridhaan Allah, itulah yang akan dicatat sebagai ibadah.

“Perjanjian Berat” Ijab Qobul, juga sebagai pemindahan tanggung jawab dari orang tua kepada suami. Pengantin laki-laki telah menyatakan persertujuannya atau menjawab ijab qobul dari wali pengantin perempuan denga menyebut ijab qobulnya. Itulah perjanjian yang amat berat yang Allah SWT ikut dalam pelaksanaannya. Hal ini sering dilupakan pasangan suami istri dan masyarakat.

Tanggung jwab yang berpindah tangan. Tanggung jawab wali terhadap seorang wanita yang dipindahkan kepada seorang laki-laki yang menikahi wanita tersebut, antara lain:
1. Tanggung jawab memberi nafkan yang secukupnya, baik lahir maupun batin,
2. Tanggung jawab menyediakan tempat tinggal yang selayaknya,
3. mendidik akhlak dan agama dengan baik,
4. mengayomi, melindungi kehormatan dan keselamatan istrinya.

Setelah ijab qobul, suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga yang akan menentukan corak masa depan kehidupan dalam rumah tangganya (suami sebagai imam).

Dengan aqad nikah, Allah SWT memberikan kehormatan kepadanya untuk menjalankan misi yang mulia.


Bismillahirrochmaanirrochiim.

1. Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan dari pada keduanya Allah memeperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. (An-Nisaa’ : 1)
2. Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur : 32)
3. Dan orang-orang yang tidak mampu berkawin hendaklah menjaga kesucian(dari)nya. Sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. (An-Nuur : 33)
4. Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum : 21)
5. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhammu Maha Kuasa. (Al-Furqaan : 54)
6. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dari padanya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya istrinya itu mengandung kandungan yang ringan dan teruslah dia merasa ringan. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah Tuhannya seraya berkata “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (Al-A’raaf :189)
7. Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya. (Ar-Ra’d : 8)
8. kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapapun yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapapun yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang Dia kehendaki) dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (Asy-Syuura : 49-50)


RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

� Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul
� Syarat perkawinan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan.

CALON SUAMI ISTERI

1. Calon suami-isteri syarat-syaratnya:

a) Umur calon suami 19 tahun; calon isteri 16 tahun (Pasal 7 UUP).
b) Mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ijin orang tua.
c) Ada persetujuan calon mempelai.
d) Antara calon mempelai tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Sebab-sebab Larangan Perkawinan

a) Karena pertalian nasab :
� ibu, nenek dan seterusnya, anak, ducu, dan seterusnya.
� saudara-saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
� bibi dan seterusnya ke atas.
b) Karena pertalian kerabat semenda
� mertua, ibu tiri (bekas isteri ayah), anak tiri (kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla aldukhul, menantu/bekas isteri anaknya.
c) Karena pertalian sesusuan
� ibu sesusuan dan seterusnya ke atas.
� saudara sesusuan dan seterusnya ke bawah.
� kemenakan sesusuan dan seterusnya ke bawah.
� bibi dan nenek bibi sesusuan ke atas
� anak yang disusui isterinya dan keturunannya.
d) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan wanita yang mempunyai hubungan nasab atau susuan dengan isterinya (saudara kandung, seayah, serta keturunannya; bibinya atau kemenakannya).
e) Seorang pria dilarang kawin lebih dari empat orang wanita.
f) Dilarang kawin seorang pria dengan:
� wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali, kecuali telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
� wanita bekas isterinya yang telah di li�an.

g) Wanita Islam dilarang kawin dengan pria non-Islam.

3. Larangan Perkawinan dalam Keadaan Tertentu

a) Wanita yang masih terikat perkawinan dengan pria lain.
b) Wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
c) Wanita yang tidak beragama Islam

4. Peminangan

a) Pengertian
Peminangan dalam fiqh disebut khitbah = permintaan, adalah pernyataan atau permintaan dan seorang laki-laki kepada seorang wanita dengan maksud untuk dinikahinya, baik dilakukan oleh laki-laki yang bersangkutan secara langsung maupun melalui perantaraan pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan agama.
Peminangan menurut KHI adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita (Pasal 1 huruf a KHI).
b) Pelaku peminangan
Dapat dilakukan langsung oleh yang bersangkutan dan melalui perantara orang lain yang dapat dipercaya.
c) Wanita yang dilarang dan haram dipinang.
� Wanita yang masih menjalani masa iddah raj�i.
� Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut telah putus dan ditolak.
d) Putusnya pinangan dan akibatnya
Putusnya pinangan dapat terjadi karena: (1) adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan, dan (2) Secara diam-diam pria peminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan dengan tetap mengindahkan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat dan tetap memelihara kerukunan. Peminangan dalam hukum Islam belum mempunyai akibat hukum. Hal ini mempunyai kesamaan dengan hukum perdata barat yang tidak terdapat sanksi hukum apabila terjadi pemutusan pinangan. Berbeda dengan status �pertunangan� dalam hukum adat. Dalam hukum adat, pertunangan dianggap sebagai suatu lembaga hukum; suatu pengertian hukum, yang konsekuensinya mempunyai akibat hukum, misalnya pihak yang memutuskan/bersalah kehilangan tanda pengikat, mengembalikan dua kali lipat dan membayar denda delik lainnya. Dalam hukum adat, adanya pertunangan berarti seseorang terikat untuk kawin dan ada kewajiban untuk memberikan hadiah-hadiah.
e) Catatan: Diterimanya pinangan pria oleh pihak wanita belum menghalalkan �hubungan� antara keduanya.

WALI NIKAH

1. Kedudukkan Wali

a) Imam Malik, Syafi�i dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya perkawinan. Dasar hukumnya adalah:
� Hadits Nabi
�Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seijin walinya maka perkawinannya batal� (Empat orang ahli hadits kecuali Nasai)
� Hadits Nabi
�Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri� (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni)
� Hadits Nabi
�Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil� (Hadits Riwayat Ahmad).
b) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali.
Hadits Nabi
�Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya� (Hadits Bukhari Muslim).
c) Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wali nikah merupakan rukun.

2. Tertib Wali

Tertib wali menurut Imam Syafi�i:
a) Ayah
b) Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c) Saudara laki-laki kandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Kemenakan laki-laki kandung
f) Kemenakan laki-laki seayah
g) Paman kandung
h) Paman seayah
i) Saudara sepupu laki-laki kandung
j) Saudara sepupu laki-laki seayah
k) Sultan/hakim
1) Orang yang ditunjuk oleh mempelai wanita

3. Macam Wali

a) Wali Nasab
Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai perempuan.
Wali nasab terbagi menjadi dua:
1) Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. Wali yang memiliki hak ijbar ini menurut Imam Syafi�i hanya ayah, kakek dan seterusnya ke atas. Para ulama berpendapat bahwa wali mujbir dapat mempergunakan hak ijbar, apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(a) Antara wali mujbir dengan calon mempelai tidak ada permusuhan.
(b) Laki-laki pilihan wali harus sekufu dengan wanita yang akan dikawinkan.
(c) Di antara calon mempelai wanita dengan calon suami tidak ada permusuhan
(d) Maharnya tidak kurang dari mahar mitsil.
(e) Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibannya terhadap isteri dan tidak ada kekhawatiran akan menyengsarakannya.
Catatan: Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, wanita dapat meminta fasakh ke pengadilan.
2) Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa ijin/persetujuan dari wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai kewenangan menggunakan hak ijbar.

b) Wali Hakim.
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.
Wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim. Wali Hakim dapat bertindak sebagai wali nikah apabila:
(1) Wali nasab tidak ada: memang tidak ada (kemungkinan calon mempelai wanita kehabisan wali dalam arti semua wali nasab yang yang memenuhi syarat telah meninggal dunia, calon mempelai wanita tidak mempunyai wali karena wali lain agama dan merupakan anak luar kawin.
(2) Wali nasab tidak mungkin hadir : bepergian jauh, berhaji dan melaksanakan umroh.
(3) Wali nasab tidak diketahui tempat tinggalnya;
(4) Wali nasab gaib (mafqud); diperkirakan masih hidup tetapi tidak diketahui rimbanya.
(5) Wali nasab adlal atau enggan (setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut). Wali adlal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya. Sedangkan masing-masing pihak menginginkan adanya pernikahan tersebut. Dalam kaitan ini, ada sebuah hadits yang yang bunyinya : Apabila datang kepadamu laki-laki yang kamu rasakan mantap karena kekuatan agama dan akhlaknya. Nikahkanlah dia dengan anak perempuanmu. Apabila kamu tidak menerimanya, akan terjadi bencana dan kerusakan di muka bumi. Dengan demikian, baik Al-Qur�an maupun hadits menjadikan ketaqwaan sebagai nilai utama dalam pemilihan jodoh. Oleh karenanya dalam Pasal 61 KHI ditentukan bahwa �Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama dan ikhtilaafu al dien.

SAKSI NIKAH

1. Arti penting Saksi
Perkawinan adalah bentuk perjanjian, dan saksi mempunyai arti penting yaitu sebagai alat bukti apabila ada pihak ketiga yang meragukan perkawinan tersebut. Juga mencegah pengingkaran oleh salah satu pihak.

2. Syarat saksi.
Syarat sebagai saksi nikah adalah laki-laki, muslim, adil, balig, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu.

3. Saksi nikah minimal harus dua dan hadir serta menyaksikan secara langsung akad nikah, menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan.

AKAD NIKAH

1. Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria dan wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu.
3. Akad nikah dapat dilaksanakan sendiri oleh wali nikah atau mewakilkan kepada orang lain.
4. Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Akan tetapi, atas persetujuan mempelai wanita dan walinya, ucapan penerimaan kabul dapat diwakilkan kepada pria lain dengan surat kuasa khusus.
5. Contoh redaksi ijab kabul yang diwakilkan
Ijab: Saya nikahkan puteri kandung saya bernama A kepada X bin Y yang telah mewakilkan kabul nikahnya kepada C bin D dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.
Kabul: Saya terima pernikahan puteri kandung Bapak bernama A dengan X bin Y yang telah mewakilkan kabulnya kepada saya dengan mas kawin sebesar/seberat dibayar tunai.


BAB. PUASA
1. Definisi Puasa
Puasa berarti menahan, menurut syari’at puasa berarti menahan diri secara khusus dan dalam waktu tertentu serta dengan syarat-syarat tertentu pula. Menahan diri dari makan, minum, berhubungan badan serta menahan syahwat dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

2. Kewajiban Puasa Ramadhan
Menurut Al-Qur’an, Hadits dan Ijma, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan bagi muslimah yang berakal sehat dan telah baligh.

Qur’an Albaqarah 183 yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang –orang sebelum kalian.

Hadits dari Thalbah bin Ubaidillah menceritakan: Ada seorang badui datang kepada Rasulullah dengan rambut yang kusut seraya bertanya: Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku shalat apa saja yang diwajibkan oleh Allah? Rasulullah menjawab : Hanya shalat lima waktu, kecuali jika kamu hendak menambahkannya dengan shalat sunnat. Orang itu bertanya kembali, beritahukan pula kepadaku puasa apa yang diwajibkan oleh Allah? Rasulullah menjawab, Hanya puasa Ramadhan, kecuali jika kamu hendak berpuasa sunnat.Orang tersebut bertanya lagi, Beritahukan kepadaku zakat apa yang harus aku bayarkan? Maka Rasulullah pun menerangkan kepadanya tentang syari’at islam. Akhirnya orang badui tersebut berkata, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, sedikitpun aku tidak akan menambah ataupun mengurangi kewajiban yang telah difardhukan oleh Allah atas diriku. Rasulullah pun berkata, Beruntunglah jika ia benar atau akan dimasukkan kedalam surga jika benar ( HR. Muttafaqun Alaih).

Menurut Ijma kaum muslimin telah sepakat mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan.

3. Beberapa Keutamaan Puasa
a. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : Puasa itu perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa, hendaklah dia tidak berkata keji dan membodohi diri. Jika ada seseorang memerangi atau mengumpatnya, maka hendaklah ia mengatakan: Sesungguhnya aku sedang berpuasa, dengan zat yang jiwaku berada ditanganNya, sesungguhnya bau mulut yang keluar dari orang yang berpuasa itu lebih harum disisi Allah daripada bau kasturi.Orang yang puasa itu meninggalkan makanan dan minumannya untuk Allah. Maka puasa itu untuk Allah dan Allah yang akan memberikan pahala karenanya, kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya (HR.Bukhari).
b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Apabila datang bulan Ramadhan
maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta semua setan dibelenggu (HR.Muslim).
Al-Qadhi mengatakan : Dibukalah pintu surga maksudnya agar hambaNya senantiasa berbuat ta’at pada bulan Ramadhan yang mana kesempatan itu tidak terdapat pada bulan-bulan lainya seperti, syalat taraweh, dan amal kebaikan lainnya yang semua itu merupakan kunci untuk dapat masuk surga. Sedangkan diutupnya pintu neraka dan dibelenggunya setan berarti supaya manusia menghindari berbagai macam pelanggaran
c. Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda : Aku pernah mendatangi Rasulullah seraya berkata: Perintahkankanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkan aku kesurga. Beliau menjawab, hendaklah kamu berpuasa, karena puasa itu merupakan amalan yang tidk ada tandingannya. Kemudian aku mendatangi Beliau untuk kedua kalinya dan beliau berkata dengan nasihat yang sama.(HR. Ahmad, Nasa’i dan Al Hakim).
d. Dari Sahal bin Sa’ad, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya surga itu mempunyai satu pintu Babu ArRayyan, pada hari kiamat nanti pintu itu akan bertanya, dimana orang-orang yang berpuasa ? Apabila yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itupun akan tertutup (HR. Muttafaqun Alaih).
e. Dari Abu Sa’id Al-khudri, Rasulullah bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa pada suatu hari dijalan Allah, melainkan dengan hari itu Allah akan menjauhkan api neraka dari wajahnya selama tujuh puluh musim ( HR. Jama’ah kecuali Abu Dawud).
f. Dari Abdullah bin Amr bin Al Ash, Rasulullah bersabda: Berpuasa dan membaca alQur’an akan memberikan safa’at kepada seseorang hamba pada hari kiamat kelak.Amalan puasanya akan berkata Ya Allah, aku telah melarangnya dari makanan, minum dan nafsu syahwat pada siang hari, sehingga ia telah menitipkan safa’at kepadaku. Amalan membaca Alqur’an berkata, Aku telah melarangnya tidur dimalam hari sehingga ia telah menitipkan safa’at kepadaku(HR.Ahmad, sanad shahih).
g. Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda : Barang siapa memberikan nafjah untuk dua istri dijalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga: Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan. Barangsiapa berasal dari golongan orang-orang yang senantiasa mendirikan salat, maka dia akan dipanggil dari pintu salat,yang berasal dari kalangan yang suka berjihad, maka akan dipanggil dari pintu jihad,demikian juga dengan golongan yang berpuasa akan dipanggil dari pintu Rayyan, yang suka bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah. Abu Bakar bertanya Demi ayah dan ibuku wahai Rasulullah apakah setiap hamba akan dipanggil dari pintu-pintu tersebut? Lalu mungkinkah seseorang dipanggil dari seluruh pintu tersebut? Beliau menjawab, Ya, ada dan aku berharap engkau wahai Abu Bakaryang termasuk salah seorang diantara mereka (HR.Bukhari).
h. Puasa mengajarkan kesabaran serta menambah keimanan, mengajarkan pengendalian diri dan tingkah laku yang baikdan membantu kesembuhan berbagai macam penyakit seperti kencing manis, darah tinggi, maag.
Seperti sabda Rasul: Berpuasalah, niscaya engkau akan sehat (HR. Ibnu Adi dan Thabrani)
i. Puasa dapat menanamkan kasih sayang dan lemah lembut kepada fakir miskin serta mengajarkan sifat tolong menolong dan sensitivitas kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

4. Kewajiban Puasa Ramadhan Ditetapkan Melalui Ru’yah
Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dimana Rasulullah bersabda : Janganlah berpuasa sehingga kalian melihat hilal, janganlah berbuka sehingga kalian melihat hilal ( pada bulan Syawal) dan janganlah berbuka sehingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalangi oleh mendung, maka perkirakanlah hitungan pada bulan itu( HR.Muslim).

5. Hari - hari Disunatkannya Puasa
a. Hari Arafah yaitu tanggal 9 dan 10 Zulhijjah
Puasa pada hari Arafah dapat menghapuskan dosa selama 2 tahun, 1 tahun yang lalu dan 1 tahun yang akan datang (HR.Muslim).kecuali orang –orang yang sedang berada diarafah disunahkan bagi mereka berbuka atau tidak puasa , ini menurut mayoritas para ulama.
b. Pada hari Asyura’ yaitu bulan Muharram
Puasa pada bulan Muharram dapat menghapuskan dosa selama satu tahun sebelumnya .sesuai sabda Rasul: Aku memohon kepada Allah untuk menghapuskan dosa yang pernah aku perbuat pada satu tahun sebelumnya (HR.Muslim).
Ibnu Abbas menceritakan: Rasulullah memerintahkan puasa pada hari Asyura yaitu tanggal 10 Muharram(HR. Tirmizi).
c. Enam hari bulan Syawal
Sabda Rasul : Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu dilanjutkan dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal, maka nilainya seperti berpuasa sepanjang tahun (HR. Muslim, Abu Dawud, Tarmizi). Boleh dikerjakan berturut-turut, boleh berselang.
d. Limabelas hari pertama pada bulan Sya’ban
Dari Aisyah Ra, ia menceritakan: Aku tidak melihat Nabi saw meyempurnakan puasa satu bulan penuh, selain pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat beliau pada bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban (Muttafaqun Alaih).
e. Sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah
Sesuai sabda Rasul : Tidak ada hari dimana amal shalih didalamnya lebih dicintai oleh Allah dari pada 10 hari pertama Zulhijjah, para sahabat bertanya kepada Rasul, wahai Rasul, tidak juga jihad fisabilillah ? Beliau menjawab, Tidak juga jihad fisabilillah, kecuali seseorang yang berangkat dengan membawa jiwa dan hartanya, lalu kembali tanpa membawa sedikitpun dari keduannya (HR.Bukhari).
f. Berselang
Sesuai sabda Rasul: Berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari berikutnya. Yang demikian itu merupakan puasa nabi Dawud dan merupakan puasa yang baik. Kemudian aku berkata : Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu,maka Nabi menjawab, tidak ada yang lebih baik dari itu ( Muttafaqun Alaih).
g. Senin Kamis
berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, dimana Rasulullah senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis karena amal perbuatan manusia diangkat menuju Allah pada hari senin dan kamis ( HR. Abu Dawud).
h. Pertengahan bulan Qamariyah (tanggal 13,14,15, setiap bulan Hijriah)
Dari Abu Hurairah : Rasulullah berpesan kepadaku tiga hal, yaitu berpuasa 3 hari pada setiap bulannya, mengerjakan 2 raka’at salat duha serta salat witir sebelum tidur ( Muttafaqun Alaih).
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Rasul bersabda : Berpuasalah setiap bulannya 3 hari , karena sesungguhnya kebaikan pada hari itu dihitung dengan 10 kelipatanya (HR.Muttafaqun Alaih).

6. Waktu Waktu Dimakruhkannya Berpuasa
a. Berpuasa 1 bulan penuh pada bulan Rajab, kalaupun ada yang hendak berpuasa pada bulan itu hendaklah berselang, karena bulan Rajab adalah bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah.
b. Pada hari Jum’at saja, sesuai sabda Rasul: Sesungguhnya hari Jum’at itu merupakan hari raya bagi kalian, karena itu janganlah berpuasa, kecuali berpuasa juga sebelum dan sesudahnya (HR. Al-Bazzar).
c. Pada hari sabtu saja, juga makruh puasanya, kecuali diikuti sebelum dan sesudahnya. Sesuai sabd aRasul: Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu, kecuali yang diwajibkan atas kalian (HR. Tirmizi).
d. Makruh puasa pada hari yang diragukan, yaitu hari ke30 bulan Sya’ban,sesuai sabda Rasul: Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka ia telah menentang Nabi Muhammad ( HR.Bukhari).
e. Mengkhususkan puasa pada tahun baru dan hari besar orang kafir adalah makruh, karena merupakan hari yang sangat diagungkan oleh orang kafir.
f. Puasa wishal, yaitu puasa selama 2 atau 3 hari tanpa berbuka hukumnya makruh, sabda Rasul: Rasulullah pernah puasa wishal pada bulan Ramadan, lalu diikuti oleh para sahabat, setelah itu beliau melarang, dan para sahabat bertanya, bukankah engkau melakukannya ? dan Beliau menjawab, sesungguhnya aku tidak seperti kalian, aku ini makan dan juga minum (Muttafaqun Alaih).
g. Puasa dahr, yaitu puasa yang dilakukan 1 tahun penuh.
Sabda Rasul : Tidak dianggap berpuasa bagi orang yang berpuasa selamanya. (HR. Muslim).
h. Janganlah seorang istri berpuasa, ketika suami berada disisinya, melainkan dengan izin suami, kecuali puasa bulan Ramadan (Muttafaqun Alaih).
i. Puasa 2 hari terakhir bulan sa’ban makruh, sesuai sabda Rasul: Janganlah salah seorang diantara kalian mendahului Ramadan dengan puasa 1 atau 2 hari , kecuali bagi orang yang terbiasa melakukan puasa, maka boleh baginya berpuasa ( Muttafaqun Alaih). Kecuali membayar hutang puasa, karena khawatir tidak bisa melakukannya dilain waktu.

7. Waktu –waktu yang diharamkan Puasa
a. Pada hari Idul Fitri dan Idul Adha baik itu untuk mengqada, membayar kafarat atau puasa sunat.
b. Pada hari Tasyriq yaitu 11,12, 13 Zulhijjah, sesuai sabda rasul: Hari tasyriq adalah hari untuk makan dan minum dan berzikir kepada Allah ( HR.Muslim).
c. Dibolehkan berbuka bagi wanita yang sakit.
Sesuai firman Allah Albaqarah 184 : Barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan, lalu berbuka, maka wajiblah baginya mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.
d. Berbukanya seorang wanita yang berpuasa sunat, hal ini sesuai hadis dari Abu Said al Khudri : Aku pernah membuatkan makanan untuk Rasulullah ketika beliau datang bersama para sahabatnya kerumah. Pada saat makanan
dihidangkan, seorang sahabat berkata , aku sedang puasa , lalu Rasulullah berkata, saudara kalian ini sudah mengundang dan akan menjamu kalian, karenanya batalkan saja puasamu dan puasalah pada hari lain untuk menggantinya jika engkau mau ( HR. Baihaqi)

8. Sunnat-Sunnat Puasa
a. Menyegerakan berbuka, sesuai hadis ; Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa (Muttafaqun Alaih).Disunatkan untuk berbuka dengan kurma, karena kurma dapat mempertajam pandangan, jika tidak ada boleh dengan air.
b. Sahur, sesuai hadis Rasulullah, makan sahurlah, karena sesungguhnya makan sahur itu mengandung berkah ( muttafaqun Alaih). Makan sahur hendaklah diakhirkan sampai mendekati fajar (subuh) hal ini dapat meringankan dalam berpuasa.
c. Berdoa ketika berbuka, karena orang yang berpuasa sehingga berbuka doanya tidak akan ditolak, sesuai sabda Rasul: Ada 3 golongan yang doanya tidak ditolak yaitu orang yang berpuasa sehingga berbuka, imam yang adil dan orang yang dizalimi ( HR. Tarmizi).

9. Puasa Bagi Orang Lanjut Usia
Bagi yang sudah lanjut usia dan tidak mampu untuk mengerjakan puasa, maka ia boleh berbuka, tapi harus diganti dengan memberi makan fakir miskin satu hari dengan satu mud dan tidak perlu mengqada puasanya.

10. Diperbolehkan Berbuka Bagi Musafir (orang dalam perjalanan )
Dalam Surat Albaqarah 184 : Barang siapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.
Tapi jika tetap berpuasa diperjalanan, maka dapat tambahan pahala.

11. Puasa Bagi Wanita Hamil dan Menyusui
Sebagian ulama mengatakan, wanita hamil dan menyusui boleh berbuka, tapi harus menggantinya pada hari yang lain atau memberikan makan pada orang miskin (fidyah). Sesuai sabda Rasul : Sesungguhnya Allah telah memaafkan setengah nilai salat dari para musafir serta memberikan kemurahan bagi wanita hamil dan menyusui, Demi Allah, Rasulullah telah mengatakan keduanya, salah satu atau keduanya (HR. An-Nasai & Tarmizi).

12. Yang Membatalkan Puasa dan Yang Mewajibkan Kafarat
a. Orang yang sengaja makan dan minum siang hari, puasanya jadi batal dan harus mangqada serta harus bayar kafarat (denda ), kecuali dalam keadaan lupa.
b. Muntah dengan sengaja, sesuai hadis Rasulullah : Barang siapa terpaksa muntah, maka tidak ada kewajiban baginya mengganti puasa, tapi barang siapa yang memaksakan diri untuk muntah, maka hendaklah dia mengqada puasanya ( HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Al-Hakim).
c. Mamandang orang laki-laki dengan nafsu birahi atau mengingat-ingat hubungan badan, puasanya batal dan harus mengqadanya.
d. Haid dan nifas , puasanya jadi batal. Sedangkan keluarnya istihadah tidak membatalkan puasa.
e. Jika seorang suami menyetubuhi istri tidak dengan persangkaan bahwa waktu magrib telah masuk atau mengira fajar belum tiba, maka keduanya tidak diwajibkan bayar kafarat, menurut mayoritas ulama mereka harus mengqadanya.
f. Jika wanita muslimah berniat untuk berbuka, sedang ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya jadi batal, karena niat adalah salah satu sarat sahnya puasa.

13. Hal hal Yang Boleh Dilakukan oleh Wanita Yang Puasa
a. Membasahi seluruh badan dengan air atau mandi.
b. Meneteskan obat mata dan memakai celak.
c. Mencium dan mendapat ciuman dari suami selama ciuman itu tidak menggerakan nafsu sahwat.
d. Suntik, baik pada kulit maupun urat.
e. Berkumur dan memasukkan air kehidung, keduanya tidak membatalkan puasa, tapi dimakruhkan melakukannya dengan berlebihan.
f. Diperbolehkan mencicipi makanan melalui ujung lidah, tapi haru hati-hati jangan sampai masuk kerongga mulut.

14. Jika Tidak Berniat Malam Hari Sebelum Puasa
Diperbolehkan berpuasa, meskipun tidak diniati sejak malam harinya, ketika waktu pagi tiba ( fajar ) ia boleh puasa dan jika berkehendak boleh berbuka.

15. Waktu Yang Meninggal dan Memiliki Hutang Puasa
Bila seseorang yang telah meninggal dan masih mempunyai hutang puasa, boleh digantikan oleh walinya, sesuai hadis Rasul : Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan kewajiban qadha puasa, maka hendaklah walinya berpuasa untuk menggantikannya ( HR. Bukhari )
16. Kafarat
Orang yang berbuka siang hari pada bulan Ramadan, maka hanya berkewajiban mengqadhanya saja. Sedangkan bila seseorang yang membatalkan puasa karena berhubungan badan disiang hari pada bulan Ramadan, maka harus membebaskan budak yang beriman, atau berpuasa selama 2 bulan berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang miskin, setiap orangnya mendapat 1 mud gandum atau kurma ( makanan poko yang mengenyangkan) sesuai dengan kemampuan.

17. Malam Lailatul Qadar
a. Keutamaan lailatul qadar
Amal perbuatan pada malam ini lebih baik daripada amalan seribu bulan yang dikerjakan tidak pada malam lailatul qadar. Dalam surat AlQadar 1-3 :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan AlQuran pada malam kemuliaan, Tahukan kamu apa malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
b. Waktu malam lailatul qadar
yaitu pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, tepatnya pada malam-malam ganjil dari bulan-bulan tersebut, seperti bulan 21, 23, 25, 27, 29. Diriwayatkan juga bahwa malam lailatul qadar adalah bulan yang sangat terangdan penuh cahaya, malam yang tenang dan tidak memancarkan panas yang menyengatdan tidak juga dingin menggigil dimana Allah SWT telah menyingkapkan bagi sebagian orang didalam tidurnya.
c. Bangun dan berdoa pada malam lailatul qadar.
Disunatkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada malam lailatul qadar ini. Sesuai Sabda Rasulullah : Barang siapa bangun pada malam lailatul qadar karena dorongan iman dan mengharapkan pahala, maka diberikan ampunan baginya atas dosa-dosanya yang telah lalu.

= Ringkasan dari fiqih wanita edisi lengkap karangan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah =

Diringkas oleh Cici
Tags: puasa
Prev: 19 Tanda Sukses Ramadhan:
Next: Amal-amal Selama Di Bulan Ramadhan

BAB .PENYEMBELIHAN
1. PENGERTIAN DZAKAH (PENYEMBELIHAN)
Dzakah pada asalnya berarti at-tathayub mengenakan wangi-wangian. Dari sanalah timbul istilah ra-ihah dzakiyah yaitu bau harum. Penyembelihan disebut dzakah karena ibahah syar’iyah (pemubahan secara syar’i) dapat menjadikan binatang yang disembelih itu menjadi baik.
Yang dimaksud disini ialah penyembelihan binatang secara syar’i, karena sesungguhnya hewan yang halal dimakan tidak boleh dimakan sedikit pun darinya kecuali disembelih terlebih dahulu, terkecuali ikan dan belalang.
2. ORANG YANG BINATANG SEMBELIHANNYA HALAL (UNTUK DIMAKAN)
Sembelihan setiap muslim dan ahli kitab, baik laki-laki maupun perempuan halal hukumnya. Allah swt berfirman:
“Dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu.” (QS al-Maaidah: 5).
Imam Bukhari berkata bahwa Ibnu Abbas mengatakan, “Makanan mereka (artinya) sembelihan mereka.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2528 dan Fathul Bari IX: 636).
Dari Ka’ab bin Malik ra bahwa ada seorang perempuan menyembelih seekor kambing dengan batu (tajam), lalu Nabi saw ditanya tentang (penyembelihan) itu, maka Beliau menyuruh memakannya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2527 dan Fathul Bari IX: 632 no: 5504).
3. ALAT MENYEMBELIH
Menyembelih boleh dengan segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah, selain gigi dan tulang.
Dari Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya bahwa ia bertutur, “Ya Rasulullah, kami tidak memiliki pisau sembelih.” Kemudian Beliau bersabda, “Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah (waktu menyembelihnya), maka makanlah. Selain kuku dan gigi. Adapun kuku adalah alat sembelih orang-orang kafir Habasyah, sedangkan gigi adalah tulang.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 631 no: 5503, Muslim III: 1558 no: 1986, ‘Aunul Ma’bud VIII: 17 no: 2804, Tirmidzi III: 25 no: 1522, Nasa’I VII: 226 dan Ibnu Majah II: 1061 no: 3178).
Dari Syaddad bin Aus ra ia bertutur: Ada dua hal yang kuhafal dari Rasulullah saw, yaitu Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (atas kita) berbuat baik kepada segala sesuatu. Oleh karena itu, apabila kamu hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik; dan apabila kamu hendak menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik pula, dan hendaklah seorang di antara kamu mengasah (menajamkan) parangnya lalu percepatlah (jalannya pisau ketika menyembelih) binatang sembelihannya!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2540, Muslim III: 1548 no: 1955, Tirmidzi II: 431 no: 1430, ‘Aunul Ma’bud VIII: 10 no: 2797, Nasa’i VII: 227 dan Ibnu Majah II: 1058 no: 3170).
4. CARA MENYEMBELIH
Hewan terbagi dua: yaitu hewan yang dapat disembelih dan hewan yang tidak dapat disembelih. Adapun binatang yang gampang disembelih, maka tempat penyembelihannya adalah pada tenggorokan dan di bawah leher, sedangkan hewan yang tidak bisa disembelih, maka cara menyembelihnya adalah dengan jalan menikam lehernya tatkala mampu menguasainya.
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Penyembelihan adalah di tenggorokan dan di pangkal leher.”
Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Anas ra, berkata, ”Apabila kepala terputus, maka tidak jadi masalah.”
Dari Rafi’ bin Khadij ra bahwa ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya besok kami akan berhadapan dengan musuh, sedangkan kami tidak mempunyai senjata tajam. Maka sabda Beliau, “Segeralah sembelih, segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah dan disebut nama Allah (pada waktu menyembelihnya), maka makanlah, selain gigi dan kuku. Dan saya akan menguraikan kepadamu, adapun gigi, ia adalah tulang, sedangkan kuku adalah alat sembelih orang-orang Habasyah.” Dan, kami mendapatkan rampasan perang berupa unta dan kambing. Kemudian ada unta yang kabur, lalu dipanah oleh seseorang hingga ia berhasil menangkapnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara unta-unta ini ada yang liar seperti liarnya binatang buas. Maka jika di antara mereka ada yang sempat membuat kamu kerepotan, maka lakukanlah begini kepadanya (yaitu panahlah di lehernya, atau bunuhlah kemudian makanlah).” (Shahihul Jami’ no: 2185).
5. SEMBELIHAN JANIN
Apabila ada janin keluar dari perut induknya dalam keadaan hidup, maka ia harus disembelih. Namun manakala ia lahir dari perut induknya yang disembelih itu dalam keadaan mati, maka menyembelih induknya itu berarti juga sebagai sembelihan baginya.
Dari Abu Su’aid ra, ia berkata: Kami pernah bertanya kepada Rasulullah saw perihal janin hewan, maka sabda Beliau saw, “Makanlah ia, kalau kalian mau; karena sesungguhnya penyembelihannya adalah menyembelih induknya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2451 dan ’Aunul Ma’bud VIII: 26 no: 2811).
6. MENYEBUT NAMA ALLAH KETIKA MENYEMBELIH
Menyebut nama Allah ketika menyembelih binatang adalah syarat halalnya binatang sembelihan; karena barangsiapa yang sengaja tidak menyebut nama Allah pada waktu menyembelih binatang, maka binatang tersebut tidak halal. Allah swt berfirman:
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (QS al-An’aam: 118).
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS al-An’aam: 121).
Dari Rafi’ bin Khadij bahwa Nabi saw bersabda kepadanya, “Apa saja yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah (atasnya), maka makanlah (ia).”
7. MENGHADAPKAN BINATANG SEMBELIHAN KE ARAH KIBLAT (KETIKA MENYEMBELIH)
Dianjurkan menghadapkan binatang yang akan disembelih ke arah Kiblat dan mengucapkan dzikir sebagai yang Rasulullah saw contohkan dalam hadits berikut ini:
Dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Pada hari penyembelihan, Nabi saw pernah menyembelih dua ekor kambing kibasy yang bertanduk, yang berwarna putih campur hitam dan dikebiri. Tatkala Beliau menghadapkan keduanya (ke arah kiblat), Beliau mengucapkan , ’INNII WAJJAHTU WAJHIYA LILLADZII FATHARAS SAMAAWAATI WAL ARDHA ’ALAA MILLATI IBRAAHIIMA HANIIFAWWA MAA ANA MINAL MUSYRIKIIN. INNA SHALAATI WA NUSUKI WA MAHYAAYA WA MAMAATII LILLAAHI RABBIL ’ALAMIN LAA SYARIIKA LAHUU WA BIDZAALIKA UMIRTU WA ANA MINAL MUSLIMIIN. ALLAAHUMMA MINKA WA LAKA ’AN MUHAMMADIW WA UMMATIHII, BISMILLAHI WALLAHU AKBAR' (Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dia yang telah menciptakan langit dan bumi, di atas tuntunan agama Ibrahim yang lurus dan saya tidaklah termasuk kaum musyrikin. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku untuk Allah Rabbil ’Alamin yang tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang aku perintahkan dan saya termasuk kaum muslimin. Ya Allah, dari-Mu dan hanya untuk-Mu dari Muhammad dan ummatnya; dengan menyebut (nama) Allah, dan Allah Maha Besar). Kemudian Beliau mulai menyembelih.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2425, ’Aunul Ma’bud VII: 496 no: 2778).
(Hadits ini didhaifkan oleh al-Albani dalam penelitian beliau yang terakhir, lihat Dha’if Sunan Abu Dawud no. 2795, cetakan "Maktabatul Ma’arif Riyadh", tahun 1419 H-1998 M, pengoreksi)
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 766 - 772.
Allah swt berfirman: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka bolehlah berburu.” (QS al-Ma’idah: 2)
Dan firman-Nya juga:
“Mereka menanyakan kepadamu: ”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah ’Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (QS al-Maidah: 4).
Buruan laut dibolehkan dalam segala kondisi demikian pula buruan darat terkecuali ketika berada dalam keadaan berihram. Allah swt berfirman:
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram.” (QS al-Maidah: 96).
1. BINATANG BURUAN YANG HALAL UNTUK DISEMBELIH
Binatang buruan yang halal disembelih adalah binatang buruan yang halal.
2. ALAT BERBURU
Pekerjaan memburu terkadang dengan menggunakan senjata yang dapat melukai (binatang buruan) seperti pedang, pisau dan anak panah dan terkadang menggunakan binatang buas.
Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombak-tombakmu.” (QS al-Maidah: 94).
“Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang telah ditangkapnya untuk kamu.” (QS al-Maidah: 4).
Disyaratkan dalam perburuan dengan menggunakan senjata yang dapat mengoyak tubuh (binatang) buruan dan menembusnya.
Dan disyaratkan dalam perburuan dengan perantara binatang, haruslah menggunakan binatang pemburu yang sudah terlatih dan tidak memakan binatang buruannya serta tidak ada binatang lain bersamanya.
Menyebut nama Allah adalah termasuk syarat halalnya binatang buruan, ketika menjelang melepaskan anak panah atau binatang pemburu.
Dari Adi bin Hatim ra, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang gagang anak panah”, maka jawab Beliau, “Jika engkau dapati tertancap dengan mata anak panah, maka makanlah; tetapi jika terpukul oleh gagangnya, lalu mati, maka sesungguhnya (binatang buruan itu) mati terpukul, karena itu janganlah engkau makan.” Kemudian aku bertanya lagi, “(Bagaimana kalau) aku melepas anjing pemburuku?” Jawab Beliau, “Jika engkau melepas anjingmu dan (sebelumnya) engkau telah mengucapkan basmalah, maka makanlah.” Saya bertanya (lagi), “(Bagaimana kalau) ia makan (binatang buruan itu)?” Jawab Beliau, “Kalau begitu, janganlah engkau makan; karena ia tidak menangkap (nya) untukmu, namun ia menangkap hanya untuk dirinya sendiri.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau aku melepas anjing pemburuku, lalu kudapati bersamanya anjing lain?” Sabda Beliau, “Janganlah engkau makan; karena sesungguhnya engkau menyebut nama Allah hanya untuk anjingmu, bukan untuk anjing yang lain.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 603 no: 5476, Muslim III: 1529 no: 3/1929 dan Nasa’I VII: 183).
3. BERBURU DENGAN ANJING YANG TAK TERLATIH
Tidak halal apa yang ditangkap oleh anjing yang tidak dilatih berburu, melainkan didapati dalam keadaan masih hidup, lalu disembelih:
Dari Abu Tsa’labah al-Khasyanni ra, ia bertutur, “Ya Nabiyullah, sesungguhnya kami tinggal di negeri kaum Ahli Kitab, bolehkan kami makan menggunakan bejana mereka? Dan di negeri perburuan, di mana aku berburu dengan panahku dan dengan anjingku yang belum terlatih serta dengan anjingku yang sudah terlatih? Lalu apa yang baik kulakukan?” Jawab Beliau, “Adapun apa yang kau ceritakan itu, yaitu tentang (bejana) Ahli Kitab, maka jika engkau mendapatkan bejana yang lain, janganlah kamu makan dengan bejana mereka; jika tidak ada lagi, maka cucilah dan kemudian boleh kamu makan dengannya. Dan apa yang kau buru dengan anak panahmu dan engkau telah menyebut nama Allah (sebelumnya), maka makanlah; dan apa yang kau buru dengan anjingmu yang sudah terlatih dan engkau telah menyebut nama Allah (sebelumnya), maka makanlah; dan apa yang kau buru dengan anjingmu yang belum terlatih, lalu engkau masih sempat menyembelihnya, maka makanlah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 604 no: 4578, Muslim III: 1532 no: 1930, Ibnu Majah II: 1069 no: 3207, Nasa’i VII: 81 tanpa menyebut Ahli Kitab).
4. BINATANG BURUAN YANG TERJATUH KE AIR
Manakala binatang buruan didapati terjatuh ke air, maka haram dimakan. Ini mengacu pada sabda Nabi saw kepada Adi bin Hatim ra:
“Apabila engkau akan melepaskan anak panahmu, maka sebutlah nama Allah; jika engkau dapatinya terbunuh, maka makanlah, kecuali jika engkau dapatinya terjatuh di air; karena sesungguhnya engkau tidak tahu, apakah air yang telah membunuhnya ataukah anak panahmu?” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2556, Muslim III: 1531 no: 7 dan 1929).
5. BINATANG BURUAN YANG BELUM KETEMU SELAMA DUA HARI ATAU TIGA HARI, LALU DIKETEMUKAN
Barangsiapa melepaskan anak panahnya, lalu tepat mengenai binatang yang diburu, kemudian binatang tersebut menghilang selama dua hari atau tiga hari, lalu kemudian diketemukan, maka ia boleh dimakan bila belum membusuk.
Dari Adi bin Hatim ra bahwa Nabi saw pernah bersabda kepadanya, “Jika engkau melepaskan anak panahmu (tepat mengenai) binatang buruanmu, kemudian engkau dapatinya setelah sehari atau dua hari yang padanya hanya ada bekas tusukan anak panahmu, maka makanlah.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 1239 dan Fathul Bari IX: 610 no: 5484).
Dari Abu Tsa’labah dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Apabila engkau melepas anak panahmu, lalu binatang yang kau buru itu menghilang darimu, kemudian engkau dapatinya, maka makanlah ia selama belum membusuk.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1242 dan Muslim III: 1532 no: 10 dan 1931).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 772 - 777.
. PENGERTIAN UDHHIYAH
Udhhiyah ialah binatang ternak yang disembelih pada hari raya haji dan pada hari-hari tasyrik demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
2. HUKUM UDHHIYAH
Hukumnya wajib atas orang yang mampu berkurban. Rasulullah saw menegaskan:
“Barangsiapa mempunyai kemampuan, namun ia tidak (mau) berkurban, maka janganlah sekali-kali ia mendekat ke mushalla kami.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2532 dan Ibnu Majah II: 1044 no: 3132).
Dalam kitab As-Sailul Jarrar disebutkan:
Wajhul istidlal (arah pengambilan dalil) dengan hadits di atas, yaitu bahwa tatkala Nabi saw melarang orang yang mampu berkurban mendekat ke mushalla bila ia tidak mau berkurban, hal tersebut menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan suatu kewajiban. Maka seolah-olah sama sekali tak ada faedahnya bagi seorang hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan mengerjakan shalat (Ied) namun meninggalkan kewajiban ini.
Dari Mukhaffif bin Sulaim ra, ia berkata: Kami pernah wukuf di Arafah di dekat Nabi saw. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya setiap ahli bait dalam setiap tahun wajib berkurban dan harus menyembelih binatang untuk bulan Rajab. Tahukah kalian, apa itu penyembelihan binatang untuk bulan Rajab? Yaitu penyembelihan binatang yang oleh orang-orang disebut rajabiyah.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 2533, Tirmidzi III: 37 no: 1555, ‘Aunul Ma’bud VII: 481 no: 2771, Ibnu Majah II: 1045 no: 3125 dan Nasa’i VII: 167).
Kemudian penyembelihan untuk bulan Rajab dihapus oleh sabda Nabi saw:
“Tidak ada penyembelihan untuk mencari barakah dan tidak ada penyembelihan untuk bulan Rajab.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 596 no: 5473, Muslim III: 1564 no: 1976, ‘Aunul Ma’bud VIII: 32 no: 2814, Tirmidzi III: 34 no: 1548, dan Nasa’i VII: 167).
Dimansukhnya (dihapusnya) penyembelihan untuk bulan Rajab tidak memastikan dihapuskannya udhhiyah.
Dari Jundab bin Sufyan al-Bajili ra, ia berkata, “Pada hari nahr saya pernah menyaksikan Rasululllah saw bersabda, “Barangsiapa menyembelih (binatang qurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi (menyembelih lagi) sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka menyembelihlah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari X: 20 no: 5562, Muslim III: 1551 no: 1960, Ibnu Majah II: 1053 no: 3152 dan Nasa’i VII: 224).
Jelas dalil di atas menunjukkan wajibnya berkurban, apalagi diiringin dengan perintah mengulangi. (As-Sailul Jarrar IV: 74-75 dengan sedikit perubahan).
3. BINATANG TERNAK YANG BOLEH DISEMBELIH SEBAGAI QURBAN
Binatang ternak yang sah dijadikan sebagai qurban hanyalah sapi, kambing dan unta. Hal ini mengacu pada firman Allah swt:
“Dan bagi tiap-tiap ummat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (QS al-Hajj: 34).
4. SEEKOR UNTA DAN SEEKOR SAPI, UNTUK BERAPA ORANG
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Kami pernah bepergian bersama Nabi saw, lalu tibalah Idul Adha, kemudian kami bersekutu dalam seekor unta sembelihan untuk sepuluh orang, dan dalam seekor sapi untuk tujuh orang.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2536, Ibnu Majah II: 1047 no: 3131, Tirmidzi II: 194 no: 907 dan Nasa’i VII: 222).
5. SEEKOR KAMBING UNTUK SEKELUARGA
Dari Athaa’ bin Yasar, ia bertutur: Saya pernah bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari ra, “Bagaimana pelaksanaan kurban kalian pada masa Rasulullah saw?” Jawabnya, “Adalah seorang sahabat pada periode Nabi saw menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan untuk keluarganya, lalu mereka memakannya dan membagikannya (kepada fakir miskin), kemudian manusia saling berbangga-bangga (dengan kurban-kurban mereka) seperti yang kau lihat sekarang ini.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2546, Ibnu Majah II: 1051 no: 3147, dan Tirmidzi III: 31 no: 1541).
6. BINATANG YANG TIDAK BOLEH DISEMBELIH SEBAGAI QURBAN
Dari Ubaid bin Fairuz, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada al-Bara bin ‘Azib ra, “(Tolong) jelaskan kepadaku binatang qurban yang dibenci atau dilarang oleh Rasulullah saw”, Jawabnya: Rasulullah saw berisyarat begini dengan tangannya, sedang tanganku lebih pendek daripada tangan beliau, sambil bersabda, “Ada empat binatang yang tidak boleh dipakai buat qurban, yaitu: binatang yang buta yang nyata kebutaannya, yang sakit yang nyata sakitnya, yang pincang yang nyata pincangnya, dan yang patah yang tidak dapat disembuhkan.”
Kata Ubaid bin Fairuz (lagi), “Maka sesungguhnya aku membenci binatang qurban yang cuil telinganya.” Lalu kata al-Bara’, “Maka binatang qurban yang kau benci, tinggallah ia, namun janganlah engkau mengharamkannya atas orang lain.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2545, Ibnu Majah II: 1050 no: 3144, ‘Aunul Ma’bud VII: 505 no: 2785, Nasa’i VII: 214, daan Tirmidzi III: 27 no: 1530 secara ringkas).
7. KAMBING KACANG TIDAK CUKUP DIJADIKAN QURBAN
Dari Baraa’ bin Azib ra, ia bertutur: Pamanku dari pihak ibu namanya Abu Burdah menyembelih qurban sebelum shalat (’id), lalu Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Kambingmu itu adalah kambing daging.” Kemudian ia berkata, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya aku (masih) punya kambing kacangan jadza’ah yang jinak.” Maka sabda Nabi saw, “Sembelihlah dia, namun dia tak patut untuk selain engkau.” Kemudian Beliau bersabda, “Barangsiapa menyembelih (qurban) sebelum shalat (‘id), maka dia hanya menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih sesudah shalat, maka sungguh telah sempurna qurbannya dan sesuai dengan sunnah kaum Muslimin.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari X: 12 no: 5557, Muslim III: 1552 no: 1961, semakna diriwayatkan Tirmidzi III: 32 no: 1544, ‘Aunul Ma’bud VII: 504 no: 2783, dan Nasa’i VII: 222).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 777 - 781.
1. PENGERTIAN AQIQAH
‘Aqiqah, huruf ‘ain diharakati fathah, adalah nama untuk kambing yang disembelih berkaitan dengan kelahiran bayi.
2. HUKUM AQIQAH
Aqiqah adalah suatu kewajiban atas orang tua, untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang setara, dan untuk anak perempuan seekor kambing:
Dari Salman bin Amir adh-Dhabby ra, ia bertutur: Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Bersama seorang anak itu ada aqiqahnya. Karena itu, alirkanlah darah untuknya dan singkirkanlah gangguan darinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2562, Fathul Bari IX: 590 no: 5472, ‘Aunul Ma’bud VIII: 41 no: 2822, Tirmidzi III: 35 no: 1551, dan Nasa’i VII: 164).
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw pernah menyuruh kami memotong aqiqah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2561, Ibnu Majah II: 1056 no: 3163, Tirmidzi III: 35 no: 1549).
Dari Hasan bin Samurah dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Setiap anak (yang baru lahir) tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama (pada hari itu juga).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2563, Ibnu Majah II: 1056 no: 3165, ‘Aunul Ma’bud VIII: 38 no: 2821, Tirmidzi III: 38 no: 1549, Nasa’I VII no: 166).
3. WAKTU AQIQAH
Disunnahkan kambing aqiqah disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, jika terlewatkan maka pada hari keempat belas, kemudian jika terlewatkan lagi maka pada hari kedua puluh satu.
Dari Burairah ra, dari Nabi saw Beliau bersabda, “Kambing aqiqah disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua puluh satu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4132 dan Baihaqi IX: 303).
4. HAL-HAL YANG DIANJURKAN YANG BERKAITAN DENGAN HAK ANAK YANG BARU DILAHIRKAN
1. Menggosok langit-langit dengan kurma:

Dari Abu Musa ra, ia berkata, “Telah lahir anak laki-lakiku, lalu kubawa kepada Nabi saw, lantas Beliau memberinya nama Ibrahim dan menggosok langit-langitnya dengan sebiji tamar (kurma), serta memohon barakah untuknya, kemudian mengembalikannya kepadaku (lagi).” Dan dia adalah putera Abu Musa yang paling dewasa. (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IX: 587 no: 5467 dan ini lafadz bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1690 no: 2145 tanpa lafadz ”WA DAFA’AHU dst.”).

2. Mengambil rambut pada hari ketujuh dan bershadaqah perak seberat rambutnya:

Dari hasan bin Samurah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (Shahih: Shahih Jami’us Shaghir no: 7563, Ibnu Majah II: 1056 no: 3163, Tirmidzi III: 35 no: 1559, Nasa’i VII no: 166, ’Aunul Ma’bud VIII : 38 no: 2821).

Dari Abu Rafi’ ra bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada Fathimah tatkala melahirkan Hasan, “Gundullah rambutnya, dan bershadaqahlah perak seberat rambutnya kepada fakir miskin!” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1175, al-Fathur Rabbani VI: 390 dan Baihaqi IX: 304).

3. Dikhitan pada hari ketujuh, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ath-Thabrani dalam al-Majma’us Shaghir:

Dari Jabir ra, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menyembelih aqiqah untuk Hasan dan Husain dan mengkitan keduanya pada hari ketujuh.” (Ath-Thabrani dalam ash-Shaghir II: 122 np: 891 dan Baihaqi VIII: 234).

Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dalam al-Mu’jamul Ausath:

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Ada tujuh hal termasuk sunnah Nabi saw yang berkaitan dengan anak kecil pada hari ketujuh: (pertama) diberi nama, (kedua) dikhitan dan dibersihkan kotorannya, (ketiga) dilobangi telinganya, (keempat) disembelih aqiqah untuknya, (kelima) digundul rambutnya, (keenam) diolesi darah aqiqahnya, dan (ketujuh) bershadaqah untuk kepalanya emas atau perak seberat rambutnya.” (ath-Thabrani dalam Mujmaush Shaghir I: 562 no: 334).

Syaikh al-Albani menyebutkan riwayat ini dalam Tamamul Minnah: 68. Kedua hadist di atas, sekalipun sama-sama mengandung kelemahan, namun saling menguatkan sehingga terpakai, karena masing-masing jalur sanadnya berlainan dan pada kedua jalur sanad itu tidak ada yang tertuduh berdusta. Dan, termasuk hal yang patut diingatkan bahwa mengolesi bayi dengan darah aqiqah adalah perbuatan yang terlarang.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 782 - 785.
Terakhir kali diperbaharui ( Friday, 18 May 2007 )